Gen Z payah? Yang jelas ungkapan itu bisa membuat mereka marah. Ini sekelumit pengalaman saya membaca karut-marut perdebatan tentang Gen Z di media sosial.
Posting terbaru di Thread merutuk Gen Z habis-habisan. Dia ini rupanya seorang pemilik perusahaan yang mempekerjakan banyak karyawan Gen Z:
“Skill gak ada, banyak ngeluh, minta banyak, kerja sedikit, hasil gak ada. Anak Gen Z punya mental dan etos kerja jauh beda. Dan itu banyak. Ngeluhnya banyak, hasil kerjanya payah.”
Sontak, kolom komentar penuh. Ada yang setuju, ada yang nyinyir balik, dan ada yang malah bikin thread tandingan. Intinya, Gen Z jadi bahan obrolan hangat lagi.
Salah satu komentar yang paling banyak di-like datang dari seorang pekerja Gen Z yang tak terima disebut pemalas:
“Pak, kalau gaji UMR, kerjaan numpuk, diminta loyal tanpa bayaran lebih, ya mana tahan? Bos-bos sekarang maunya tenaga murah tapi output maksimal. Kayak robot aja.”
Lalu, ada juga yang menimpali dengan nada sinis:
“Giliran kerja lembur, diminta standby 24/7, gak boleh ngeluh. Tapi pas resign, dibilang nggak setia sama perusahaan. Maunya apa, sih?”
Tak berhenti di situ, perang argumen pun terus bergulir. Ada yang membela, ada yang menyalahkan. Gen Z dianggap generasi lemah, terlalu manja, dan gampang menyerah. Sebaliknya, ada yang balik menuding bahwa dunia kerja sekarang terlalu eksploitatif dan gak masuk akal.
Itu di ranah profesional. Di ranah akademik, banyak pendidik yang mengatakan Gen Z tidak suka membaca, tidak bisa berpikir mendalam, dan tata kramanya memprihatinkan.
Pengalaman saya mengajar gen Z ternyata juga membuka mata bahwa mereka tidak senantiasa sama. Gen Z di kampus dimana saya mengajar, Universitas Ma Chung, tergolong generasi yang sopan. Banyak dari mereka yang masih menunjukkan tata krama dan perilaku menghormati orang tua, menyapa dan berbicara dengan bahasa yang sopan. Namun di sisi lain harus saya akui bahwa kualitas berpikir mereka kurang mendalam. Daya analitis dan daya kritisnya kurang. Mungkin juga karena ini disebabkan mereka tidak terbiasa membaca wacana panjang seperti buku atau artikel bermutu. Sebagian besar tidak membaca sama sekali, ataupun kalau membaca ya membaca berita-berita pendek yang sedang viral yang memamerkan kerecehan dan kehebohan semata. Sebagian besar sangat menyukai game online dan scrolling media sosial. Mungkinkah ini memicu gejala “brain rot” (otak membusuk) karena tidak lagi digunakan untuk berpikir, berkontemplasi, dan menajamkan daya analitis kritis? Beberapa penelitian ternyata mendukung kecurigaan ini. Kesukaan mereka terhadap konten yang singkat, interaktif, dan menghibur akhirnya mematikan kebiasaan membaca buku yang notabene tidak mempunyai ketiga ciri tersebut.
Saya menduga ada satu faktor lagi yang jarang menyeruak ke perdebatan di media sosial: ekosistem sosial yang melingkupi mereka. Gen Z yang dididik dan tumbuh dalam keluarga yang harmonis dan lingkungan sosial yang sehat dan suportif cenderung masih mempertahankan etos belajar dan bekerja yang baik pula. Bukan kebetulan kalau mereka ini akhirnya juga berkumpul dan belajar bersama di sebuah lembaga pendidikan tinggi, yang kemudian melahirkan lulusan-lulusan Gen Z yang masih bisa dikategorikan bermutu tinggi. Sebaliknya, ada sebagian Gen Z yang tumbuh dalam ekosistem yang kurang sehat secara moral dan tata krama, dan akhirnya menjadi bibit masalah ketika sudah bekerja. Sang pemilik perusahaan yang threadnya merutuki Gen Z di atas mungkin mendapatkan karyawan-karyawan seperti ini.
Yang jelas, perdebatan ini gak bakal selesai dalam satu thread. Satu hal yang pasti: melabeli satu generasi dengan stigma tertentu cuma bikin ribut. Tapi, ya, namanya juga media sosial. Drama kayak begini bakal terus ada.
Leave a Reply