MEMASUKKAN KECERDASAN BUATAN KE DALAM KURIKULUM
Patrisius Istiarto Djiwandono[i]
Lintang pukang tunggang langgang. Itu mungkin kata yang tepat untuk mewakili bagaimana dunia pekerjaan dan bidang pendidikan merespons derasnya perkembangan kecerdasan buatan (untuk lebih mudahnya akan dirujuk sebagai “AI” saja). Tentu saja kata ini berlaku untuk mereka yang masih perduli terhadap marwah dan nilai-nilai baik dalam pendidikan. Untuk mereka yang oportunis dan minim etika tentu gelombang tsunami AI malah dianggap menguntungkan kepentingan pribadinya, dan tulisan ini bukan untuk atau tentang mereka.
Kita belum tahu bagaimana tepatnya AI akan mengubah wajah dunia kerja, yang pada gilirannya akan merombak pula materi ajar dan cara belajar di sekolah dan perguruan tinggi. Yang bisa kita lakukan adalah menjaga agar martabat pendidikan sebagai sumber pembentukan nilai-nilai luhur tetap dipegang teguh oleh pendidik dan para muridnya. Salah satu upaya yang secara logis harus dilakukan adalah memasukkan pengetahuan tentang AI dalam kurikulum.
Materi AI dalam kurikulum bertujuan untuk membuka wawasan mahasiswa terhadap tiga hal utama, yakni (1) potensi AI, (2) ancaman AI terhadap etika akademik, dan (3) penggunaan AI untuk memaksimalkan kualitas proses penciptaan karya akademik tanpa melanggar integritas akademik. Muatan-muatan seperti ini tentu belum cukup hanya diajarkan saat orientasi mahasiswa baru. Karena AI sudah menjadi bagian dari keseharian manusia akademis, tentu akan lebih baik kalau pengetahuan tentang AI dimasukkan ke dalam mata kuliah. Itu pun tentunya tidak menjadi bagian yang mendominasi keseluruhan silabus namun tetap mampu mencuatkan kesadaran akan bagaimana menggunakan AI secara tepat dan etis.
Topik pertama yang perlu diajarkan adalah tentang etika akademis dan etika AI. Etika akademis sudah ada sejak lama, namun perlu senantiasa dikuatkan supaya civitas akademik tidak melupakannya di tengah godaan untuk mengambil jalan pintas. Ia meliputi nilai-nilai integritas, kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, keadilan, dan kebebasan akademik. Adapun etika AI adalah perlindungan data pribadi, bias dalam algoritmanya, pengambilan keputusan yang etis, otonomi manusia, dan penyebaran misinformasi. Kedua topik besar ini perlu diperkenalkan kepada para mahasiswa sehingga mereka paham perbedaannya dan implikasinya.
Topik berikutnya yang perlu diajarkan adalah potensi AI. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa sekalipun dikenal sebagai generasi penduduk asli digital (digital natives), masih banyak mahasiswa yang belum tahu bagaimana AI bisa membantu mereka mengerjakan karyanya secara lebih efisien namun tetap dalam koridor etika akademik. Kepada mereka bisa ditunjukkan bahwa AI membantu dalam mendapatkan berbagai referensi, melakukan curah pikiran (brainstorming), mereview hasil karya mahasiswa, bahkan melatih mereka dalam mempelajari materi kuliah. Topik ini bisa diselipkan ke dalam beberapa sesi mata kuliah. Ia tidak perlu menjadi satu topik tersendiri yang akan menyita porsi untuk topik-topik utama, namun tetap bisa memberikan dampak bagi kesadaran dan ketrampilan mahasiswa.
Topik besar berikutnya adalah ancaman AI terhadap etika akademik. Jelas sekali bahwa nilai integritas dan nilai kejujuran adalah dua hal yang rawan dilanggar oleh penggunaan AI. Ancaman ini perlu dicuatkan ke ruang kesadaran mahasiswa. Kepada mereka perlu ditegaskan bahwa menggunakan AI untuk menghasilkan tulisan atau mengerjakan tugas-tugas kuliah adalah pelanggaran integritas akademik. Penulis sering mendapati banyak mahasiswa yang menggunakan AI di gawainya untuk menerjemahkan ujaran bahasa Indonesianya ke bahasa Inggris, lalu membaca hasilnya untuk menjawab pertanyaan dosen. Pada tahap awal atau tahap sedang berlatih, hal ini relatif berterima. Namun, penulis selalu menegaskan bahwa mereka harus berangsur-angsur meramu jawabannya sendiri dan mengutarakannya, sebagaimana manusia berkomunikasi secara alamiah. AI boleh digunakan untuk mendapatkan ide keseluruhan dan kata-kata kunci. Sisanya, mereka lah yang harus bekerja mandiri mengutarakan ide itu secara lisan dalam bahasa sasaran. Perlu ditegaskan kepada mereka bahwa jawaban lisan yang mengandung kesalahan namun diujarkan secara mandiri jauh lebih bernilai daripada jawaban sempurna yang disuapkan begitu saja oleh AI.
Topik berikutnya adalah tentang teknis penggunaan AI untuk membantu pengerjaan tugas-tugas belajar. Dalam satu sesi kuliah, bisa disisipkan teknik membuat prompt sederhana yang menghasilkan jawaban AI yang akurat dan tepat konteks. Apapun prompt yang ditulis, para mahasiswa lah yang harus memulai pencetusan ide awalnya. AI bisa diajak berdiskusi untuk mematangkan ide tersebut, membahas eksekusinya, kendalanya dan sebagainya. AI juga bisa digunakan untuk menilai ketepatan hasil karya mahasiswa dari segi tata bahasa dan keruntutan gagasannya, atau menilai kreasi yang sudah dibuatnya. Pendek kata, sebagian besar proses kreatif dan proses pemikiran itu harus tetap berlangsung di benak mahasiswa. AI dgunakan hanya untuk mengevaluasi hasilnya melalui umpan balik langsung atau pembahasan mendalam.
Ini juga berlaku untuk tipe-tipe AI yang meringkas artikel-artikel panjang menjadi intisari yang siap diserap (misalnya scite.ai atau bohrium.com). Fitur ini jelas sekali membuat manusia tidak lagi membaca dan berpikir ketika membaca. Proses itu dopotong kompas begitu saja dan tentu ini tidak pantas di dunia akademis yang mengagungkan kekuatan berpikir mandiri. Maka, untuk yang kasus ini, bisa ditekankan kepada para mahasiswa untuk selalu mengecek hasil yang ditelurkan AI dengan membaca sendiri—walaupun secara lebih cepat—artikel-artikel yang sudah disuguhkan oleh AI.
Di Universitas tempat penulis bekerja, penulis mendapati satu upaya revisi kurikulum dari salah satu prodi yang secara sadar memasukkan pengajaran tentang AI. Ini tentu satu perencanaan yang perlu diapresiasi karena mencerminkan respons terhadap dinamika jaman dan sikap antisipatif terhadap tantangan di masa depan.
Pada kesempatan lain, penulis sebagai kepala penjaminan mutu Universitas pernah diundang ke sesi curah pendapat mahasiswa. Di luar dugaan, ada satu komentar yang intinya meminta para dosen untuk tidak terus menerus menggunakan AI dalam menyajikan perkuliahan. Mereka ternyata lebih menyukai ceramah langsung dan interaksi langsung dengan dosennya. Di tengah suasana batin yang di awal tadi penulis sebut sebagai “tunggang langgang”, tentu ini satu hal yang menyejukkan. Ternyata masih ada mahasiswa yang masih merasa lebih nyaman mendapatkan siraman pengetahuan dan pengasahan ketrampilan oleh dosennya sendiri, yang notabene adalah manusia dan bukan sekumpulan algoritma super cerdas dan super cepat.
[i] Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar di Fakultas Bahasa dan kepala Lembaga Penjaminan Mutu di Universitas Ma Chung.
Leave a Reply