Sebelum masuk pada topik inti, penulis ingin menyajikan sebuah cerita nyata. Seorang teman penulis gemar mempostingkan konten-konten bernada cabul di media sosialnya. Tindakan ini berlangsung selama beberapa tahun tanpa pernah ada orang dekat yang mengingatkannya. Suatu hari, dia jatuh sakit dan sehari berikutnya meninggal dunia karena serangan jantung. Ketika dia sudah almarhum, orang lain masih bisa melihat konten media sosialnya dan mirislah mereka melihat isinya yang vulgar tersebut. Kepergiannya begitu mendadak sehingga dia tidak sempat menghapus akun media sosialnya itu atau sekedar memperbaiki isinya. Sekalipun dia sudah tiada, bisa dibayangkan betapa tidak indahnya personal brandingnya (citra pribadi) di mata orang lain.
Personal branding itu penting. Bukan hanya produk yang perlu branding, manusia juga. Apalagi untuk mereka dengan profesi yang disegani di kalangan masyarakat, seperti dosen, pejabat tinggi, pemimpin perusahaan, atau anggota DPR. Bagaimana kita melakukan branding? Di jaman media sosial sudah menjadi santapan keseharian masyarakat seperti jaman ini, branding bisa dilakukan lewat media sosial. Apapun yang seseorang pajang di media sosial menjadi sarana orang banyak untuk melekatkan label pada dirinya. Label itu bisa baik, bisa netral, bisa buruk, tergantung pada apa yang mereka lihat di media sosial tersebut.
Personal branding bertujuan utama untuk menjaga dan meniingkatkan reputasi. Selain itu, personal branding juga menjaga kredibilitas dan kepercayaan yang diberikan oleh orang lain. Seorang dosen bisa meningkatkan kredibilitasnya sebagai seorang pendidik dan peneliti melalui posting-postingnya di media sosial. Seorang pengusaha, selain menjaga reputasinya, juga berpotensi meningkatkan kredibilitasnya di mata orang lain sehingga mereka tidak segan bekerja sama dengannya. Bahkan seorang mahasiswa pun bisa membangun personal brandingnya lewat berbagai postingnya di media sosialnya. Penulis pernah mengajar seorang mahasiswa yang begitu tekun mendalami dunia penulisan. Ketika Facebook baru lahir di tahun 2008, ia rajin mempostingkan berbagai hal tentang dunia tulis menulis. Maka tak ayal lagi citra dirinya di mata teman-teman dan para dosennya adalah orang muda yang punya potensi besar menjadi penulis. Kabarnya setelah lulus dia bekerja sebagai seorang wartawan dan penulis lepas, kemudian dipercaya menjadi editor sebuah media di ibu kota.
Bagaimana dengan orang yang tidak punya media sosial? Di jaman digital ini, hampir semua orang mengetahui dinamika dunia melalui gawainya. Orang yang tidak menancapkan kehadirannya di dunia digital bisa dianggap tidak eksis sebab figur dan pemikirannya tidak hadir di dunia digital.
Sebagai seorang pendidik, dosen dan guru bisa menggunakan media sosial sebagai sarana yang efektif untuk personal branding. Dengan banyaknya jenis media digital dan beragamnya lapisan demografis yang mengaksesnya, semestinya para pendidik ini bisa membentuk citra positifnya untuk beragam kalangan. Penulis mempunyai profil LinkedIn, Threads, Instagram, Facebook, Youtube, blog, bahkan X (d/h Twtitter). LinkedIn bisa digunakan untuk menampilkan aktivitas profesional sebagai pejabat di lingkungan kampus; Threads digunakan sebagai ajang saling bertukar informasi dan berdebat secara sehat dan elegan; Instagram dipenuhi dengan kehidupan keluarga dan rekreasi; Facebook menjadi panggung kecil untuk mencuatkan pemikiran dan kadang lelucon ringan; Youtube digunakan untuk memberikan ceramah tentang satu materi pengajaran; dan akhirnya X digunakan untuk mencuitkan materi pelajaran dari bidang kepakaran si empunya akun.
Kanal Youtube penulis sarat dengan materi penelitian, pembelajaran bahasa Inggris, dan ringkasan isi buku-buku. Penulis mencitrakan dirinya sebagai dosen yang tak segan membagikan ilmu tentang metode penelitian dan cara belajar bahasa asing. Tahun lalu, mendadak datang undangan dari sebuah lembaga pendidikan di Bandung untuk mengisi bootcamp nya tentang analisis data penelitian. Tahun sebelumnya, dua orang calon Doktor menghubungi penulis melalui jalur pribadi untuk meminta advis tentang penelitiannya. Mereka rupanya terkesan dengan video-video metode penelitian di kanal Youtube itu dan akhirnya memetik buah yang lebih manis ketika penulis dengan senang hati membantu program pelatihan dan disertasi mereka. Media sosial, jika dikelola dengan tekun dan dengan niat ingsun berbagi kebaikan, tentu akan memberikan berkat bagi orang banyak. Itu satu pelajaran yang penulis petik dari pengalaman membentuk personal barnding lewat rmedia sosial.
Ada pendapat yang dulu sempat santer beredar bahwa seorang profesional yang sudah bukan lagi generasi muda dan sedang menjadi pejabat sebaiknya tidak “ikut main” media sosial. “Media sosial lebih pantas untuk generasi muda yang sedang ingin eksis dan kadang galau” demikian narasi itu beredar. Beberapa kolega penulis memang dengan terus terang mengatakan “saya tidak bermain di media sosial karena itu bisa mengurangi wibawa saya sebagai seorang profesional.”
Lalu datang lah jaman dimana figur-figur terkenal seperti presiden Jokowi, presiden Trump, dan Elon Musk mempunyai akun media sosialnya sendiri-sendiri. Mereka juga aktif menyuarakan berbagai kebijakan dan pendapatnya tentang satu isu yang muncul di masyarakat. Maka, narasi yang tadi terkesan anti media sosial itu pun diam-diam lenyap, berganti menjadi bagaimana generasi imigran digital (baca: mereka yang sudah berusia 50 tahun ke atas) bisa ikut eksis di jagad maya untuk memperkuat citranya sebagai pemimpin, intelektual, atau profesional yang pendapatnya layak didengar. Muncul pula kesadaran bahwa wibawa seseorang tidak akan luntur begitu saja hanya karena dia “bermain” di kolam yang penuh dengan generasi lebih muda. Bahkan dorongan itu makin diperkuat oleh makin seringnya alamat media sosial seseorang ikut ditanyakan di berbagai formulir pendaftaran.
Pendapat yang mengatakan bahwa jika Anda tidak hadir di media sosial, maka Anda praktis tidak eksis itu mungkin ada benarnya. Kita tahu bahwa sebagian besar waktu manusia jaman sekarang digunakan untuk membaca atau melihat media sosial. Kita bisa membayangkan betapa kuatnya citra pribadi seseorang yang rajin hadir di media sosialnya. Sekalipun mungkin orang lain tidak mengenalnya secara langsung karena faktor jarak, kehadirannya di media sosial membuatnya tetap eksis di keseharian orang-orang lain tersebut.
Pada akhirnya, kemajuan teknologi digital dengan media sosial sebagai salah satu manifestasinya memang bisa bersifat destruktif atau konstruktif. Para dosen, guru, atau kaum akademis lainnya bisa menggunakannya secara konstruktif untuk membangun personal brandingnya. Personal branding yang kuat akan menjadi landasan yang kokoh bagi mereka untuk ikut menyumbangkan upaya bagi perkembangan orang lain.
Leave a Reply